Pulau Dewata lekat dengan payudara wanita. Bukan karena banyak wisatawan asing berjemur tanpa busana di Pantai Kuta. Atau berjalan-jalan dengan penutup busana seadanya. Bali tahun 1950-an, memang tidak mengenal penutup dada. Semua perempuan Bali tampil topless, sesuai kebiasaan setempat.
Mario Blanco, salah satu pewaris budaya Bali menuturkan, kebiasaan perempuan Bali tidak mengenakan busana berakhir sekitar tahun 1990-an. �Tapi ayah saya menciptakan atmosfer Bali di sini. Semua karyawan enggak pakai baju. Topless,� katanya seperti yang dikutip dari CNN Indonesia saat ditemui di Bali.
Tempat yang dimaksud Mario, adalah Museum Blanco yang terletak di Desa Ubud, Bali. Mario merupakan putra Antonio Blanco, pelukis berdarah Spanyol yang memutuskan mendedikasikan hidupnya untuk Bali. Oleh Raja Ubud, Antonio diberi sepetak tanah yang digunakan sebagai tempat tinggal sekaligus studio melukis.
Meski Antonio sudah meninggal tahun 1999, hingga kini tempat itu masih lestari. Bukan hanya ada studio dan tempat tinggal, berdiri pula Museum Blanco yang memajang koleksi lukisan Antonio, serta Restoran Rondji, yang diambil dari nama sang istri.
Museum Blanco dipenuhi lukisan perempuan bertelanjang dada. Ada yang tengah menari, berpose di atas tempat tidur, sampai digambarkan sedang bermasturbasi. Antonio memang pencinta perempuan. Namun ia bukan pengagum erotika. Ia melukis perempuan dengan gairah seni yang dimilikinya.
Dijelaskan Mario, lukisan-lukisan itu bukan dengan sengaja dibuat untuk menonjolkan keindahan tubuh perempuan. Ia mengatakan, goresan kuas sang ayah memang mengabadikan budaya Bali pada masa itu: perempuan-perempuan yang tanpa busana. �Saya melihat payudara perempuan sudah biasa, sudah dari kecil,� ujar Mario.
Namun, meski tak mengenakan penyangga dan penutup seperti bra, payudara perempuan Bali yang dilukis Antonio tak ada yang kendur. Itu disebabkan kebiasaan mereka menyunggi benda di atas kepala. Setiap sembahyang di pura pun, sesaji mereka letakkan di atas kepala.
Atas nama pelestarian budaya lah, Antonio memutuskan karyawannya di Museum Blanco tak perlu mengenakan busana penutup dada. Tapi sekitar tahun 1990-an, mulai banyak wisatawan domestik yang berkunjung ke Ubud. Salah satu karyawan Museum Blanco dikejar-kejar lantaran tak pakai busana.
Akhirnya, diputuskan karyawan perempuan harus mengenakan kemban. Tapi, itu hanya saat ada tamu berkunjung. �Kalau di dalam, kembannya dibuka, jadi topless. Kalau ada tamu, gong dipukul dan kembannya dipakai untuk menghormati tamu,� ujar Ketut, seorang staf Museum Blanco pada CNN Indonesia.
Kini, seiring perkembangan peradaban dan semakin banyaknya wisatawan yang masuk ke Ubud, budaya tanpa busana itu sudah tergerus. Karyawan perempuan di Museum Blanco pun sudah memakai kebaya khas Bali. �Waktu ayah saya meninggal tahun 1999, saya ganti seragamnya dengan kebaya,� ujar Mario lagi, menerangkan.
0 komentar:
Posting Komentar